BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa
Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan
oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan
pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan,
perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh
pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan
terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu,
upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan
yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan
efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan,
mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka
pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan
melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan
distribusi pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan
diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya
lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan
gizi seimbang. PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi
pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama
internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan
distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah
pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan
berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan
pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah
satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi
antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha)
merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001
telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan
Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri
termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan
sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim
Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT), Tim
Teknis dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan
pangan pasal 9 menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan,
dan budaya lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat1 dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan
teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan prrinsip gizi berimbang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat diajukan beberapa rumusan masalah, antara
lain :
1.
Apa yang dimaksud dengan ketahanan
pangan?
2.
Bagaimana tujuan dari pembangunan
ketahanan pangan?
3.
Bagaimana strategi dalam upaya
pembangunan ketahanan pangan?
4.
Apa saja sub sistem ketahanan
pangan?
5.
Aspek-aspek apa saja yang berkaitan
dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai
ketahanan pangan?
6.
Bagaimana program dalam upaya
ketahanan pangan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diperoleh dari
rumusan masalah tersebut adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari
ketahanan pangan
2. Untuk mengetahui tujuan dari
pembangunan ketahanan pangan
3. Untuk mengetahui strategi dalam
upaya pembangunan ketahanan pangan
4. Untuk mengetahui sub sistem
ketahanan pangan
5. Untuk mengetahui aspek-aspek yang
berkaitan dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam
mencapai ketahanan pangan
6. Untuk mengetahui program dalam upaya
ketahanan pangan.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang dapat kita petik dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui tentang
ketahanan pangan yang ada di Indonesia sehingga dengan adanya ketahanan pangan
ini, masyarakat dapat lebih memahami hal-hal apa yang perlu di perhatikan dalam
ketahanan pangan mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami
perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang
mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone”.
Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi
dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua
orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at
all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan
oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang
ketahanan pangan (Weingärtner, 2000). Berikut disajikan beberapa definisi
ketahanan yang sering diacu :
1.
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun
1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
2.
USAID (1992: kondisi ketika semua
orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk
memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
3.
FAO (1997) : situasi dimana semua
rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan
bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami
kehilangan kedua akses tersebut.
4.
FIVIMS 2005: kondisi ketika semua
orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan
sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5.
Mercy Corps (2007) : keadaan
ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi
terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi
sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
a.
Berorientasi pada rumah tangga dan
individu.
b.
Dimensi watu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses.
c.
Menekankan pada akses pangan rumah
tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan social.
d.
Berorientasi pada pemenuhan gizi.
e.
Ditujukan untuk hidup sehat dan
produktif.
Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996,
pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam
jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan
pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai
berikut:
1)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi
ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas,
mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi
kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta
turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
2)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman
dari kaidah agama.
3)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di
seluruh tanah air.
4)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi
terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang
terjangkau.
2.2
Tujuan Pembangunan Ketahanan Pangan
Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai
ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap
rumah tangga dari produksi pangan nasional yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau seperti
diamanatkan dalam UU pangan.
2.3
Strategi dalam Upaya Pembangunan
Ketahanan Pangan
Strategi yang dikembangkan dalam upaya pembangunan ketahanan
pangan adalah sebagai berikut :
a)
Peningkatan kapasitas
produksi pangan nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju
pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.
b)
Revitalisasi industri
hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin pertanian) .
c)
Revitalisasi Industri
Pasca Panen dan Pengolahan Pangan.
d)
Revitalisasi dan
restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada ; koperasi, UKM dan lumbung desa.
e)
Pengembangan kebijakan
yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku
bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliput penerapan technical barrier for
Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit , dan harmonisasi
tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi
pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen
dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling
berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu
kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan,
budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan efisien
oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah.
Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai dari
proses produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di
bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan
ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta
intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari
pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas,
ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
2.4
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem
utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu
subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat
nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan
pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
1.
Sub sistem ketersediaan (food
availability)
yaitu
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang
dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan
pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi
pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan
yang aktif dan sehat.
2.
Akses pangan (food access)
yaitu
kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya
untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh
dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.
Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.
Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses
fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi),
sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
3.
Penyerapan pangan (food utilization)
yaitu
penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi
dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan
tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan
air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan
balita. (Riely et.al , 1999).
Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif
meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan
jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan
merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi
seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem
ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan
penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga
menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu
serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah
tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi
aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada
aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka
dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi
2.5 Aspek-aspek tentang permasalahan dan tantangan yang
dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan
a.
Aspek Ketersediaan Pangan
Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah
semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan
nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial -
ekonomi;
1)
Teknis
a)
Berkurangnya areal
lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti
industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
b)
Produktifitas
pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
c)
Teknologi produksi
yang belum efektif dan efisien.
d)
Infrastruktur
pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan kemampuannya semakin
menurun.
e)
Masih tingginya
proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10-15%).
f)
Kegagalan produksi
karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada musim kering yang
panjang di wilayah Indonesia dan banjir .
2)
Sosial- ekonomi
a)
Penyediaan sarana
produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintah.
b)
Sulitnya mencapai
tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena besarnya jumlah
petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi yang semakin sempit
dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
c)
Tidak adanya jaminan
dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari pemerintah kecuali beras.
d)
Tata niaga produk
pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif impor yang melindungi
kepentingan petani.
e)
Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi
penyediaan pangan.
b.
Aspek Distribusi Pangan
1)
Teknis
a)
Belum memadainya infrastruktur,
prasarana distribusi darat dan antar pulau yang dapat menjangkau seluruh
wilayah konsumen.
b)
Belum merata dan memadainya
infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan distribusi pangan , kecuali beras.
c)
Sistem distribusi pangan yang belum
efisien.
d)
Bervariasinya kemampuan produksi
pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem
distribusi pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah
konsumen.
2)
Sosial-ekonomi
a)
Belum berperannya kelembagaan
pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan
harga pangan.
b)
Masalah keamanan jalur distribusi
dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya
sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi
yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.
c.
Aspek Konsumsi Pangan
1)
Teknis
a)
Belum berkembangnya teknologi dan
industri pangan berbasis sumber daya pangan local.
b)
Belum berkembangnya produk pangan
alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.
2)
Sosial-ekonomi
a)
Tingginya konsumsi
beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia > 100 kg, Thailand 60 kg,
Jepang 50 kg).
b)
Kendala budaya dan
kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak mendukung
terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi
pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
c)
Rendahnya kesadaran
masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan yang sehat dan aman.
d)
Ketidakmampuan bagi
penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang memadai sehingga aspek
gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.
d.
Aspek Pemberdayaan Masyarakat
1)
Keterbatasan prasarana dan belum
adanya mekanisme kerja yang efektif di masyarakat dalam merespon adanya
kerawanan pangan, terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat yang
membutuhkan.
2)
Keterbatasan keterampilan dan akses
masyarakat miskin terhadap sumber daya usaha seperti permodalan,
teknologi, informasi pasar dan sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan
untuk memasuki lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3)
Kurang efektifnya program
pemberdayaan masyarkat yang selama ini bersifat top-down karena tidak
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan.
4)
Belum berkembangnya sistem
pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi
kerawanan panagan dan gizi pada tingkat masyarakat.
e.
Aspek Manajemen
Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan
dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen
pembangunan yang meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang
dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
1)
Terbatasnya ketersediaan data
yang akurat, konsisten , dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk
perencanaan pengembangan kemandirian dan ketahanan pangan.
2)
Belum adanya jaminan perlindungan
bagi pelaku usaha dan konsumen kecil di bidang pangan.
3)
Lemahnya koordinasi dan masih adanya
iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor,
lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah.
2.6
Program dalam Upaya Ketahanan Pangan
Dengan memperhatikan pedoman dan ketentuan hukum, serta
tujuan dan strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka kebijakan dan
program yang akan ditempuh dikelompokkan dalam:
a)
Program jangka pendek (sampai dengan
5 tahun)
Program jangka pendek ditujukan untuk peningkatan kapasitas
produksi pangan nasional dengan menggunakan sumberdaya yang telah ada dan
teknologi yang telah teruji. Komponen utama program ini adalah:
1.
Ekstensifikasi atau perluasan lahan
pertanian (140.000 Ha/tahun)
Ekstensifikasi lahan pertanian ditujukan untuk
memperluas lahan produksi pertanian, sehingga produksi pangan secara nasional
yang sekarang dapat ditingkatkan. Ekstensifikasi dilakukan terutama untuk
kedelai, gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi besar (30-70%).
Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1
Ha), tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial
seluas 31 juta Ha dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani.
2.
Intensifikasi
Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi
melalui peningkatan produktifitas pertanian. Intensifikasi ditujukan pada
lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah merupakan daerah lumbung
pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya.
3.
Diversifikasi
Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk
meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi
beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan
bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan
mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang
telah diteliti ke dalam industri.
4.
Revitalisasi Industri Pasca
Panen dan Pengolahan Pangan
Revitalisasi/restrukturisasi industri pasca panen dan
pengolahan pangan diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan
mutu karena teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2) pencegahan
bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah
jadi dan produk pangan.
5.
Revitalisasi dan Restrukturisasi
Kelembagaan Pangan
Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok
tani, UKM, Koperasi perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung
pembangunan kemandirian pangan. Kemitraan antara lembaga perlu didorong
untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Koordinator kegiatan ini
adalah Meneg Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh Depperindag.
Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar departemen dan instansi
untuk melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana
dibebankan pada anggaran masing-masing departemen.
6.
Kebijakan Makro
Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji
kembali khususnya yang mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5
tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak produk pangan,
retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan produksi dalam
negeri serta kredit usaha.
b)
Program jangka menengah (5-10 tahun)
Program jangka menengah ditujukan pada pemantapan
pembangunan ketahanan pangan yang lebih efisien dan efektip dan berdaya saing
tinggi. Beberapa program yang relevan untuk dilakukan adalah:
1.
Perbaikan undang-undang tanah
pertanian termasuk didalamnya pengaturan luasan lahan pertanian yang dimiliki
petani, pemilikan lahan pertanian oleh bukan petani. Sistem bawon atau
pembagian keuntungan pemilik dan penggarap, dsb.
2.
Modernisasi pertanian dengan lebih
mendekatkan pada pada peningkatan efisiensi dan produktivitas lahan pertanian,
penggunaan bibit unggul, alat dan mesin pertanian dan pengendalian hama terpadu
dan pasca panen dan pengolahan pangan.
3.
Pengembangan jaringan dan sistem
informasi antar instansi, lembaga yang terkait dalam bidang pangan serta pola
kemitraan bisnis pangan yang berkeadilan.
4.
Pengembangan prasarana dan sarana
jalan di pertanian agar aktivitas kegiatan pertanian lebih dinamis.
c)
Program jangka panjang (> 10
tahun)
1.
Konsolidasi lahan agar lahan
pertanian dapat dikelola lebih efisien dan efektip, karena masuknya peralatan
dan mesin dan menggiatkan aktivitas ekonomi dan pedesaan.
2.
Perluasan pemilikan lahan pertanian
oleh petani.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam
kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi
Inodonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan
program pada tahun 1992, yang kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang
pangan no:7 ada pada tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama
dalam mewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang
berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama
dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai
ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau
kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya
ketahanan pangan
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu
memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat
secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan
(ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus
Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan
agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi
pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi
teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas
teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan
komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja
secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan
pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.
3.2
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya
pemerintah lebih memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia.
Karena masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi
yang baik guna menjaga ketahanan pangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana, 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan
Ketahanan Pangan. Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang ,
9-10 Oktober 2001
Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI.
Anonim , 2000. Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Siswono Yudo Husodo. 2001.Kemandirian di Bidang Pangan,
Kebutuhan Negara Kita. Makalah Kunci pada Seminar Nasional Teknologi
Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. kebijakan Umum Ketahanan
Pangan 2006-2009. Departemen Pertanian, Jakarta.
Nainggolan,
K. 2006. Kebijakan Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Arsip
Blog
Mengenai
Saya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar